“Melaksanakan UUD 1945 secara konsisten diseluruh aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan sikap hidup dan implementasi
pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia guna tercapainya cita-cita
proklamasi kemerdekaan RI 17 agustus 1945”
Pancasila
Sebagai Pandangan Hidup Bangsa INDONESIA Guna Tercapainya cita-cita Proklamasi.
Mempelajari Pancasila sebagai
dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup
bangsa Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia.
Pancasila yang benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam alinea
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui
Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan
tersebut diperlukan untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang
berbeda, yang dapat menimbulkan kerancuan pendapat dalam memberikan isi
Pancasila yang benar dan sesungguhnya.
Dalam rangka mempelajari Pancasila, Laboratorium Pancasila
IKIP Malang (1986:9-14) menyarankan dua pendekatan yang semestinya dilakukan
untuk memperoleh pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai Pancasila.
Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis-konstitusional dan pendekatan
komprehensif.
Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna
meningkatkan kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk
melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh dan berkembangnya
pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam keseharian hidup kita secara
individual maupun sosial selaku warga negara Indonesia.
Pendekatan komprehensif
diperlukan untuk memahami aneka fungsi dan kedudukan Pancasila yang didasarkan
pada nilai historis dan yuridis-konstitusional Pancasila: sebagai dasar negara,
ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Telaah tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain merupakan
philosphische grondslaag (Bld), dasar filsafat negara Republik Indonesia,
Pancasila pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau pandangan
hidup bangsa (Ing: way of life; Jer: weltanschauung). Maka tinjauan historis
dan filosofis juga dipilih untuk memperoleh pemahaman yang mengarah pada
hakikat nilai-nilai budaya bangsa yang dikandung Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat. Pancasila adalah keniscayaan sejarah yang dinamis dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, tinjauan filosofis
tidak hendak mengabaikan sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek religius
dalam Pancasila (Lapasila, 1986:13-14): "Dengan tercantumnya Ketuhanan
yang mahaesa sebagai sila pertama dalam Pancasila, Pancasila sebenarnya telah
membentuk dirinya sendiri sebagai suatu ruang lingkup filsafat dan religi.
Karena hanya sistem filsafat dan religi yang mempunyai ruang lingkup pembahasan
tentang Ketuhanan yang mahaesa. Dengan demikian secara 'inheren' Pancasila
mengandung watak filosofis dan aspek-aspek religius, sehingga pendekatan
filosofis dan religius adalah konsekuensi dari essensia Pancasila sendiri yang
mengandung unsur filsafat dan aspek religius. Karenanya, cara pembahasan yang
terbatas pada bidang ilmiah semata-mata belum relevan dengan Pancasila."
Tinjauan
historis
Pembahasan historis Pancasila
dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29
Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968.
Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:
1) Telaah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru
dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI);
2) Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut,
kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi.
Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah
tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum
terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini,
pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga
belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih
'alamiah'. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan
Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel.
Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut
kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan
dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu dilakukan
mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila
yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu
kebulatan yang utuh.
Sidang
BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29
Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara
Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3)
Peri Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia
tidak memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar
negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir.
Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan
Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan
Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap
gempita itu, ia mengatakan: "… saja namakan ini dengan petundjuk seorang
teman kita – ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila …" (Anjar Any,
1982:26).
Piagam
Jakarta 22 Juni 1945
Rumusan lima dasar negara
(Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh "Panitia 9" yang
lazim disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional,
yakni para wakil dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir.
Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso,
Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr.
Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar negara oleh "Panitia 9" itu
tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai
"Piagam Jakarta", yaitu: 1) Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, "Piagam
Jakarta" diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi)
Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar
negara (Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha
Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana
tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Konstitusi
RIS (1949) dan UUD Sementara (1950)
Dalam kedua konstitusi yang
pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara 'lebih
singkat' menjadi: 1) Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3)
Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi
kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis
atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2)
Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan
sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap
berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu
mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Instruksi
Presiden RI No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu
selain membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap
konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya
penafsiran individual yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara,
ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah
mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata
urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar